Sejarah

Sekilas tentang Pendiri

Mgr. Bos berkaul sebagai seorang anggota Kapusin pada 25 September 1887 dan ditahbiskan menjadi imam pada 21 September 1889 yang terpilih menjadi Provinsial Kapusin Belanda pada 1903.

Ia kemudian ditunjuk sebagai Prefek Apostolik Borneo Belanda (Borneo Olandese) pada 10 April 1905. Seiring dengan peningkatan status Borneo Belanda dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik pada 13 Maret 1918, satu hari berselang, ia diangkat menjadi Vikaris Apostolik, empat hari kemudian ia mendapat gelar Uskup Tituler Capitolias  Selama memimpin keuskupan, ia memprakarsai pendirian Rumah Sakit Umum Santo Antonius yang mulai dibangun sejak April 1928.

Mendirikan Rumah Sakit         

Saat Mgr. Pacificus Bos, Ofm. Cap. mendirikan gereja Katedral Pontianak Santo Yosef pada tahun 1909, dia mendapatkan tidak ada rumah sakit. Warga Pontianak umumnya berobat ke dukun / tabib dan hanya sesekali berobat ke mantri pemerintah Belanda.

Mgr. Pacificus Bos memandang perlu adanya rumah sakit di Kota Pontianak. Setelah beberapa kali mengadakan perundingan dengan wakil pihak pemerintah Belanda, pada tahun 1928 permohonan mendirikan rumah sakit tersebut dikabulkan, menggantikan komplek bangunan perumahan polisi yang terletak di antara kebun kelapa yang dibelah Sungai Jawi yang bermuara ke Sungai Kapuas.

Pada bulan April 1928, pimpinan Sekolah Pertukangan Bruder Cosmas dengan stafnya mulai membangun rumah sakit yang sederhana. Bangunan yang didirikan adalah: 3 (tiga) ruang untuk pria, 2 (dua) ruang untuk wanita, 1 (satu) ruang untuk anak – anak dan satu ruang lagi untuk pasien kelas. Di samping itu ada beberapa kamar lagi yaitu : ruang isolasi, kamar bedah, kamar bersalin, ruang poliklinik, kamar obat, kantor umum / dokter, dapur dan kamar cuci dengan daya tampung 136 tempat tidur. Rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 31 Desember 1928; dan pada tanggal 1 Januari 1929 menerima pasien pertama kali. Rumah sakit ini diberi status Rumah Sakit Swasta bersubsidi, penyelenggaraan maupun pemeliharaan rumah sakit ditangani oleh missi Katolik dengan mendapat subsidi dari pemerintah.

Mulanya rumah sakit ini belum mempunyai dokter ahli, hanya ada dokter umum dan diberi tanggungjawab sebagai pimpinan. Tenaga lainnya adalah para suster dari Fransiskanes, pastor dan tenaga lainnya. Saat itu masyarakat masih percaya dukun dan tabib dalam pengobatannya. Namun selanjutnya pasien yang berobat ke rumah sakit semakin bertambah setelah mereka mulai percaya dengan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Tenaga dokter pun bertambah jumlahnya, dan pada akhir tahun 1930-an mendapat tenaga dokter yaitu :

          1. Dr. Agus Djam, ahli mata, pegawai tidak tetap

          2. Dr. Rubini, diberi tanggung jawab bagian operasi

          3. Dr. Voorwerk, diberi tugas di bagian TBC

          4. Dr. Van Der Werf, dokter umum,  

          5. Perawat asal Kalbar yaitu Suster Revocata, 2 (dua) orang juru rawat, mantri H. Nyabu dan Atan

Masa Pemerintahan Jepang

Tahun 1942, dokter-dokter dan para suster tetap bertugas di rumah sakit kurang lebih 9 (sembilan) bulan sebelum satu persatu mereka menghilang, pindah dan bahkan ditawan serta dibunuh.

Meskipun demikian, rumah sakit ini tetap berjalan terus. Rumah Sakit ini selanjutnya diambil alih dan dipimpin oleh 3 (tiga) orang dokter Jepang dan dibantu seorang suster pribumi yaitu Suster Brahama sebagai pimpinan perawatan.

Pada waktu diambil alih oleh pemerintahan NICA, rumah sakit dalam keadaan baik namun perlengkapannya sangat berkurang dan pasien hanya tinggal 5 (lima) orang, sementara itu rumah sakit dipimpin oleh Dr. Soedarso (alm) sebelum pemerintah NICA mengirimkan Dr. Hazewinkel yang selanjutnya menjadi direktur rumah sakit; bersama istrinya, seorang ahli penyakit dalam, para suster dan 4 (empat) orang perawat.

Mereka berkarya di rumah sakit ini dan berusaha sedikit demi sedikit melengkapi segala kekurangan yang ada. Untuk perlengkapannya itu, rumah sakit banyak mendapat bantuan dari instansi – instansi pemerintah dan relasi. Dalam tahun – tahun pertama mengalami banyak kekurangan, terutama di bidang farmasi sebab Jakarta tidak bisa secepatnya melayani permintaan-permintaan.

Masa Pemerintah Republik Indonesia (1949-1984)

Pada tahun 1949, setelah kedaulatan Republik Indonesia, rumah sakit Pontianak yang telah diadopsi oleh pemerintah NICA, sekarang diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia, dengan syarat pihak missi mempunyai hak turut menentukan personil dan hak memiliki gedung-gedungnya. Setelah pemerintahan NICA tidak lagi berkuasa di Indonesia, Dr. Hazenwinkel dan keluarganya kembali ke negerinya (Belanda).

Pada bulan Juni 1949, Dr. Hazenwinkel digantikan oleh Dr. Lim Kiong Wan, seorang ahli bedah; dibantu oleh suster perawat Belanda 5 (lima) orang, 4 (empat) orang perawat Indonesia dan 2 orang pembantu perawat. Jumlah pasien rata-rata 129 orang per hari yang 88% dari jumlah tempat tidur yang tersedia. Melalui panitia dan sumbangan pribadi dokter, maka dapat dikumpulkan biaya untuk membuat kamar rontgen. Dan dengan bantuan anggaran pemerintah dan bantuan umat Katolik maka dilakukan perbaikan gedung dan perawatannya serta perlengkapannya.

Pada tahun 1950-1952 dilakukan perbaikan gedung meliputi : pengecatan seluruh gedung, perbaikan dinding dan atap bocor, renovasi kamar operasi dan kamar rontgen, mendirikan fasilitas rumah cuci, membangun asrama putra dan perluasan asrama putri.

Pada tahun 1954-1958 rumah sakit dipimpin oleh Dr. Soetidjo, pada masa kepemimpinan beliau, rumah sakit jatuh bangun karena keadaan perekonomian Indoneisa masih dalam masa – masa sulit. Pada Tahun 1958 – 1975, rumah sakit dipimpin oleh Dr. H. Gandawijaya. Pada tahun 1960 pemerintah pusat membantu mendirikan asrama baru untuk para siswa pria. Tahun 1968, Mgr. Herkulanus Van den Burg melalui bantuan luar negeri (CEBEMO) mendirikan gedung dengan perlengkapannya : Gedung dengan ruang belajar dan satu aula, gedung asrama putri, laboratorium, ruang perawatan anak, ruang kelas dengan kapasitas 14 tempat tidur dan perluasan dapur. Selama kepemimpinan Dr. Gandawijaya rumah sakit mendapat tenaga dokter spesialis bedah, mata, THT, kebidanan, radiologi, penyakit dalam dan jiwa.

Pada tahun 1975-1982, RSU Sei Jawi Dipimpin oleh Dr. Winoto Harjolukito, spesialis bedah. Selama kepemimpinannya berhasil dibangun : apotik, ruang VIP, perbaikan sanitasi kantor keperawatan. Dengan bantuan masyarakat dan tarikat religius pada tahun 1979 berhasil dibangun ruang ICU / ICCU.

Masa Pemerintah Republik Indonesia (1984-1998)

Untuk mempersiapkan rumah sakit ini dikembalikan kepada pemiliknya yaitu Keuskupan Agung Pontianak, maka pada tanggal 18 Juli 1984 dibuka SPK Dharma Insan Pontianak di bawah naungan Yayasan Dharma Insan dengan status swasta. Pada tahun 1987 SPK Dharma Insan ini meluluskan angkatan pertama dan semua lulusan diterima bekerja di rumah sakit ini dengan status karyawan prabakti selama 3 (tiga) tahun. Pada tahun 1982 – 1993 RSU Sei Jawi Pontianak ini dipimpin oleh Dr. Sjofian Roslim, Sp. THT. Pada tanggal 24 Maret 1990 RSU Sei Jawi diserahterimakan kepada pemiliknya keuskupan Agung Pontianak dan diganti namanya menjadi RSU St. Antonius Pontianak dengan status swasta penuh.

Keuskupan Agung Pontianak RSU St. Antonius menyerahkan pengelolaannya kepada Yayasan Dharma Insan Pontianak. Pada tahun 1993 – 2000 RSU St. Antonius dipimpin oleh Dr. Gunawan Hadibrata. Selama kepemimpinan beliau terjadi banyak perubahan dan kemajuan baik secara fisik bangunan, peningkatan SDM, peralatan medis, kerjasama yang baik dengan para dokter spesialis, maupun peningkatan mutu pelayanan. RSU St. Antonius menerima 3 (tiga) orang dokter spesialis tetap yaitu dr. Sientje Mokoginta, Sp. B., dr. Joko T. Basuki, Sp. OG., dan dr. Charles Hutasoit, Sp. A.

Masa Pemerintah Republik Indonesia (1998-sekarang)

Pada masa kepemimpinan Dr. Gunawan Hadibrata, dengan melihat kebutuhan dan pemanfaatan fasilitas RSU St. Antonius oleh masyarakat semakin meningkat, maka pihak Keuskupan Agung Pontianak memikirkan untuk mengadakan perluasan gedung RSU St. Antonius, sehingga pada bulan November 1998 Uskup Agung Pontianak melakukan penancapan tiang pertama dan memberkati lokasi pembangunan gedung baru RSU St. Antonius Pontianak yang terletak di bekas lokasi penjara Jl. KHW. Hasyim Pontianak.

Pada bulan September 2002 Ruang St. Boromeus mulai dibuka untuk menampung pasien yang terkena wabah penyakit diare dan demam berdarah.  Tanggal 1 Oktober 2002 secara bertahap gedung baru RSU St. Antonius mulai difungsikan.